Kamis, 17 Juni 2010



Jalanan di sepanjang gang sempit itu dipenuhi botol-botol kosong. Baunya bercampur aduk. Kania menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Langkahnya semakin cepat. "Sial, anak bos satu itu memang menjengkelkan. Lihat nanti pembalasanku, "bisiknya jengkel. Belum habis sumpah serapah keluar dari mulutnya, Kania dikejutkan oleh makhluk kecil yang melintas cepat di depannya. Hampir saja hewan kecil itu terlindas sepatu sandal yang dikenakannya. "Hiii... "seru Kania. Tubuhnya seketika doyong ke kanan. Untunglah Kania mampu menopang berat badannya. Jantungnya berdebar kencang. "Ii.. itu tikus, bukan? tanya Kania sambil menenangkan diri. Segera Kania mengibaskan pipa celana panjang yang dikenakannya lebar-lebar. Bayangan hewan menjijikkan itu menyelusup masuk ke badannya membuat sekujur tubuh Kania menggigil ketakutan. Tanpa pikir panjang lagi Kania memacu kakinya sekuat tenaga. Kania berlari dan terus berlari. Hanya satu yang diinginkannya saat itu, sampai di rumah secepatnya.
***

Kring..kring..kring… suara HP itu berbunyi lagi. Kania menyembunyikan kepalanya di balik bantal. Kring..kring… suara telepon itu terus berdering memaksa Kania untuk mengangkatnya. Sekilas dibacanya sebuah nama di layar HP. “Huh, dia lagi. Kurang apa dia menyakitiku kemarin? “Keluh Kania. Kekesalannya pada peristiwa kemarin sore belum juga usai. Dan hari ini dia memutuskan untuk di rumah saja, mengerjakan skripsinya. Masa bodoh dengan projek pekerjaannya itu. Ditimbang-timbangnya HP dalam genggaman. Tak lama sambil menyunggingkan senyum pembalasan, ditekannya tombol off. Kania tersenyum puas. Ditariknya selimut rapat-rapat menutupi tubuh. “Tak ada lagi yang menggangguku… merdeka. Kania kembali meneruskan mimpi indahnya.

“Neng..neng….”, suara Bi Nah dan bunyi ketukan di pintu samar-samar masuk ke dalam mimpi Kania. “Neng, ada tamu”. Kali ini suara bi Nah jelas terdengar. “Neng…, suara Bi Nah mulai terdengar putus asa. Kania tak tega hati mendengar suara Bi Nah yang memelas itu. Disingkapnya selimut perlahan, dan berdiri menuju pintu kamar. Diputarnya gerendel pintu dan tampak wajah Bi Nah dengan senyum sabarnya. “Ada apa Bi?, “tanya Kania masih setengah sadar. “Anu neng.. ada tamu dari kantor. Katanya penting.” Insting Kania langsung mencium tanda bahaya. Ia tahu ini pasti ulah si bos baru itu. Kania langsung mengubah gerak tubuhnya. Masih dengan wajah setengah mengantuk ia mengeluh pusing dan mual. Bi Nah yang melihat kondisi putri majikannya segera memapah Kania duduk di tepi tempat tidur. “Bi Nah buatkan the hangat dan bubur untuk neng Kania ya. Neng Kania istirahat saja. Biar nanti bibi yang bilang ke teman kantor neng Kania kalau neng Kania sakit. “ucap Bi Nah panjang lebar. Kania pura-pura menggangguk lemas.

“Neng….” Suara Bi Nah terdengar ragu dan takut-takut. Kania dengan malas membalikkan badannya. Alangkah kagetnya ia ketika melihat orang yang paling dibencinya muncul di hadapannya. Kania memalingkan muka dan melirik Bi Nah tajam, tapi yang dilirik hanya menunduk dan mengucap lirih “Maaf neng Kania..”ujar Bi Nah sambil beranjak pergi dan menutup pintu kamar. “Bi Nah tidak salah apa-apa, saya lah yang memaksa dia untuk mengantarkan saya ke sini, “sela laki-laki muda di hadapan Kania. Kania berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Arif, nama laki-laki itu spontan mendekati Kania dan mengulurkan tangannya membantu Kania. “Kamu sakit, Kania? Kecapekan? “Tanya Arif penuh perhatian. Kania sebal mendengarnya. “Aku minta maaf. Tapi, tikus itu tidak menggigitmu kan?”. Kania diam terpaku mendengar pertanyaan Arif. Tikus? Mengapa Arif tahu soal tikus? Apakah dia mematai-mataiku juga? Pandangan mata Kania yang bingung dan penuh tanya menyadarkan Arif. “Aku tahu kamu marah besar padaku. Aku tahu proyek ini membuat kita semua jadi gila. Lembur berminggu-minggu. Diskusi dan perdebatan panjang. Dan puncaknya kemarin sore. Kita semua lelah dan tertekan.”

Kania sibuk menyimak. Hatinya terluka. Kemarin dia dengan penuh percaya diri melaporkan hasil pekerjaan timnya ke Arif. Arif yang sedang asyik bertelepon hanya memandang sekilas pada hasil kerja Kania dan teman-teman. Sebelum akhirnya dia melontarkan kritik pedas di telinga Kania. Selama ini Kania selalu mendiskusikan ide dan perkembangan timnya kepada Arif sebagai ketua kelompok. Dan Arif tampak menyetujui semua gagasan yang diajukan Kania. Kania bukan tak bisa menerima kritik tapi sikap Arif yang bosy membuatnya muak dan sebal. Sore itu Kania membanting pintu dan berjalan keluar. Dia bertekad untuk keluar dari projek dan membiarkan Arif membereskan semuanya. “Aku minta maaf Kania. Aku menyesal atas apa yang telah terjadi sore itu. Ketika kamu melangkah keluar, aku merasa.. aku tiba-tiba merasa akan kehilangan dirimu..” kata Arif terbata-bata. “Aku berlari mengejarmu. Tapi aku tak berani mendekatimu, Kania. Aku hanya mengikutimu dari kejauhan. Itulah sebabnya aku tahu kisah tikus itu.” Kania tak sanggup mengucapkan kata sepatahpun. Dia memandang Arif perlahan. “Aku memang laki-laki yang menyebalkan. Tapi aku bersungguh-sungguh dengan apa yang aku katakan. Mudah-mudahan kamu mau memaafkanku, Kania. “Pinta Arif tulus. Seberkas senyum muncul di wajah Kania. Arif tahu Kania telah memaafkannya. Senyum dan pancaran mata Kania memang tidak bisa berbohong. “Aku menyayangimu Kania lebih dari yang kau tahu, “bisik Arif dalam hati. Hanya dalam hati.

1 komentar: